Pakar hukum tata negara Feri Amsari menilai norma ambang batas pencalonan presiden atau presidential threshold yang diuji Partai Keadilan Sejahtera (PKS) ke Mahkamah Konstitusi, dianggap paling tepat jika melihat alasan yang dikemukakan.
Feri menegaskan, secara prinsip konstitusional terkait norma ambang batas pencalonan pada dasarnya adalah 0 persen. Dimana, basisnya ada pada Pasal 6A ayat (2) UUD 1945.
"Hanya saja, saya seperti melihat kebuntuan dari banyak pihak, termasuk partai politik (parpol) yang mengajukan gugatan norma presidential threshold yang termuat dalam Pasal 222 UU 7/2017 tentang Pemilu," ujar Feri seperti dilansir dari Kantor Berita Politik RMOL, Selasa (26/7).
Pasalnya, Direktur Pusat Studi Konstitusi (Pusako) ini mengamati, MK selalu menggunakan dalil open legal policy untuk mementahkan puluhan gugatan norma presidential threshold.
"Alasan Mahkamah Konstitusi soal open legal policy memang sedari awal sudah 35 putusan yang terkait ambang batas pencalonan (dimentahkan)," imbuhnya.
Namun, Feri melihat alasan hukum yang disampaikan PKS memiliki perbedaan jika dibanding perkara-perkara uji materiil serupa yang masuk dan sudah dimentahkan MK.
"Tentu PKS menjadi yang paling rasional memetakan open legal policy itu berbasis pada jumlah partai yang ada di parlemen, dan kesempatan bagi mereka untuk mengajukan calon," kata Feri memaparkan.
Ia menambahkan, ini alasan yang berbeda yang mungkin secara politik sangat potensial menjadi pertimbangan baru bagi Mahkamah Konstitusi.
Diketahui, permohonan uji materiil presidential threshold diajukan PKS ke Kantor MK, Jalan Medan Merdeka Barat, Jakarta Pusat, Rabu, 6 Juli 2022.
Saat itu yang memimpin proses pendaftaran permohonan gugatan itu ialah Presiden PKS Ahmad Syaikhu, yang meminta MK mengubah presidential threshold menjadi 7 sampai 9 persen.
Syaikhu mengungkapkan, PKS mengikuti alur pemikiran MK yang telah mengadili setidaknya 30 permohonan uji materi terkait Pasal 222 UU Pemilu.
Dimana, MK menyebutkan bahwa angka presidential threshold sebagai open legal policy pembentuk undang-undang, dan PKS sepakat dengan argumentasi ini.
Hanya saja, Syaikhu memandang seharusnya open legal policy tersebut disertai dengan landasan rasional dan proporsional, agar tidak bertentangan dengan UUD 1945.